Total Kemacetan

Kamis, 19 April 2018

Postingan Facebook (dokumentasi)

Sore tadi, anak saya yang paling kecil (usia 2 tahun 8 bln) jatuh di jalan depan rumah. Dan dari jarak sekitar 50 meter terdengar suara tertawa terbahak-bahak dari segerombolan anak usia SD mentertawakan anak saya.
Kontan saya kaget. Melihat orang celaka mereka malah bahagia. Marahlah saya. Saya tatap mereka satu persatu (dari kejauhan) tapi tak sedikit pun rasa bersalah. Akhirnya keluarlah kata-kata "kalian di sekolah tidak diajarkan adab?". 
Miris, dalam benak saya. Di saat orang dewasa saling melempar kebencian di dunia maya(sosmed) dengan saling memaki karena masalah sepele, di dunia nyata anak-anak sudah tidak peka terhadap sekitarnya, sedikit sekali rasa empati apalagi simpati.
Kemudian saya berfikir, mungkin sekarang adalah era dimana membenci diajarkan sejak dini (feb 8,2018)

---------------------------------------

Kejadian hari ini yang sedikit menyita pikiran.Dua anak tetangga bertengkar hebat, laki-laki, anak SD . Yang satu menggunakan mulutnya(setajam silet...kaya di TV ) yang satu menggunakan sapu bambu. Jadi,setiap si mulut tajam menyinggung maka sapu akan mendarat di badannya. Dan, saat saya menuju TKP tidak ada satupun yang berusaha melerai padahal banyak orang dewasa di sana. Mereka lebih memilih pura-pura tidak tahu dan membiarkan. Jadilah saya pahlawan gak jelas, melerai, dan berusaha menenangkan. Tapi, tidak ada satupun yang mengalah dan akhirnya saya bimbing salah satu(si mulut silet) untuk pulang ke rumahnya.
Yang membuat saya tertegun, apakah kondisi anak-anak dan juga orang dewasa saat ini sudah tidak perduli dengan orang lain sehingga tidak ada rasa peka sama sekali. Bagaimana seandainya hal tersebut menimpa anaknya,saudaranya?
Kemudian apakah yang di pelajari anak-anak sekarang di sekolah, apakah yang diajarkan di rumah sehingga mudah sekali menyakiti temannya baik lisan maupun perbuatan? (April 7, 2016)

---------------------------------------------
Bahagia itu adalah saat melihat anak selalu bersemangat sekolah, pun ketika sakit. Energi positif tersebut sempat membuat saya terpana untuk beberapa lama. Karena, di sekolah sebelumnya bukan semangat yang diperoleh, tapi kemalasan yang luar biasa yang membuat saya harus berdamai dengan rasa kesal.
Sekolah ini sebetulnya sudah saya incar dari awal karena membawa branding "ramah anak", tapi karena faktor jarak dan lainnya terpaksa harus di coret dari daftar. Tapi, memang sudah jodoh tetap saja akhirnya saya menyekolahkan anak saya kesana .
Yang saya suka dari sekolah ini adalah karena menghargai proses belajar anak, akademis maupun sosial. Hal tersebut membuat anak merasa nyaman di sekolah dan tidak merasakan kejenuhan.
#zaidaneducare#SekolahRamahAnak (dec 20, 2015)
---------------------------------------------------

Bertemu dengan teman lama menambah keyakinan saya bahwa orang yang di sebut pintar bukan hanya ranking 1 atau yang jago matematika saja, kecerdasan seseorang tidak bisa di ukur hanya dalam satu sisi karena orang pintar hanya minum tolak angin #eh #abaikan  (oct 1, 2014)

-------------------------------------------------
Terjadi percakapan dengan seorang ibu yg memiliki anak kelas 1 SD saat dia berkunjung ke garage sale yg saya gelar. Inti dari ucapan ibu tersebut adalah sekolah TK itu tidak ada manfaatnya sama sekali, karena tidak di ajari apapun, jadi lebih baik anak di suruh les calistung dan les menggambar. Sebagai buktinya, anaknya telah memenangkan lomba berhitung sekabupaten.
Ucapan ibu tersebut membuat saya mengernyit karena saya sama sekali tidak sepaham dengannya. Pantas saja banyak generasi muda yg berani pada orang tua, egois, dll karena sejak dini bukan etika,akhlak, ataupun kepedulian thd lingkungan yang di tanamkan tapi anak-anak diajarkan untuk sibuk mengenal angka dan tulisan. (May 13, 2014)

-----------------------------------------------------

Pada dasarnya anak itu memiliki kecerdasan beragam. Menyamakan anak dengan membuat sebuah standar pendidikan yang sama dan seragam adalah sebuah pengabaian terhadap keragaman anak. Bahkan bukan hanya pengabaian, penyeragaman standar itu bukan hanya membuat anak tak berkembang, tetapi dapat membuat potensi mereka mati.
Ada anak yang cerdas fisik, tetapi dijuluki anak nakal di kelas karena tidak bisa duduk tenang. Ada anak yang cerdas interpersonal yang senang ngobrol/bergaul, tetapi dinilai berisik dan mengganggu. Ada anak yang senang belajar dengan praktek dan dinilai bodoh karena tidak bisa belajar dengan cara membaca teori. Itu hanya sebagian contoh dari keragaman anak yang sering diabaikan dan “dilabeli bermasalah” di dalam model pendidikan yang mengagungkan standar dan keseragaman. (jan 15, 2014)