Total Kemacetan

Jumat, 29 April 2011

Yang Penting Ada Cabe

Beruntungnya berkenalan dengan orang Menado yang ramah, baik, juga cantik yang mau berbagi cerita tentang daerahnya. Sambil menikmati makan siang sayur asem yang dilengkapi lauk, ayam goreng, tahu goreng, dan pelengkapnya sambal dan kerupuk disebuah beranda rumah tua.
Pembicaraan di awali pujian terhadap rasa sambal khas sunda yang entah siapa yang membuatnya.

+ : Enak sekali sambalnya, makannya tadi banyak
-  : Wah...syukurlah...akhirnya menemukan juga rasa sambal yang pas
+ : Ya....padahal kalau jauh dari Menado...saya takut
-  : (mengeryit)
+ : Susah mencari makanan yang sesuai dengan lidah orang Menado karena orang Menado suka pedas
-  : Kan banyak makanan yang pedas
+ : Tidak sepedas di Menado
-  : O, ya?
+ : Disini pakai cabe yang besar-besar itu, kalau di sana pakai cabe rawit yang warnanya merah
-  : (langsung pikiran menuju cengek domba yang rasanya luar biasa pedas)
Padahal cabe besar juga pedas?
+ : Wah...buat orang Menado sih nggak, cuma cocok buat hiasan makanan saja. Soalnya, disana pakai cabe gak pernah sedikit, semua makanan harus ada cabe (cengek) yang di gigit
-  : (Langsung terbelalak membayangkan rasa makanan yang luar biasa pedas)
+ : Terus kalau disana...harga beras naik gak jadi masalah...yang penting harga cabe tetap murah
- : (tertawa lepas...masalahnya baru kali ini mendengar hal itu) yang penting cabe ya?
+: Iya...dan disana kalau mau menikah jangan pada bulan-bulan saat harga cabe mahal. misalnya saat hari raya..
- : Biaya membengkak ya?
+: Hehehe...iya


Senin, 25 April 2011

Obrolan Santai di Waktu Senggang (ver.3)

Lagi nonton video jadul tentang Weltevreden (Jakarta)

+  : Waaa....orang-orang dulu cinta kebersihan, ya? Lihat tuh jalan raya dibersihkan secara gotong royong. Meskipun gak hot mix tapi bersih dan rapi. Beda ya sama orang-orang sekarang yang suka buang sampah dimana saja, kadang dari mobil/motor pun main lempar saja...
-  : Bukan cinta kebersihan...tapi memang disuruh
+ : Eh? siapa yang nyuruh? (protes mode : on)
-  :Tuh, penjajah (maksudnya orang Belanda, dengan gaya lempeng)
+ : Masa sih?
-  : Dulu, yang punya ide rumah sehat siapa? ya ...orang Belanda. Nah, pribumi disuruh nyapu jalan biar bersih, gak boleh buang sampah sembarangan. orang Belanda jijik lah kalau tempatnya kotor... Pendapat aja sih (masih lempeng juga), tapi...itu juga hasil baca-baca buku (gak mau dibilang opini ngelantur)
+ : (garuk-garuk kepala) Iya, kali ya...

Melanjutkan nonton

+ : Pengaturan rumah pun beraturan, gak acak-acakan, gak asal mendirikan, terus gak mepet-mepet ke jalan raya lagi (maksudnya rumah gak nempel ke jalan raya) & penempatannya pun jelas
- : Iya,lah...dulu aturannya antara jalan dan batas rumah/tanah kurang lebih 5 meter
(nih, sotoy juga atau memang hasil reinkarnasi manusia tempo dulu)
+ : Bengong


Selasa, 12 April 2011

Kabar Baduy Dari Riksa Budaya Sunda 2011

(Tulisan ini copy paste dari penulisnya, semoga tergugah atas apa yg terjadi. Silahkan baca tentang masyarakat Kanekes/Baduy  terlebih dahulu)

by : Derry Hudaya

Dalam Riksa Budaya Sunda 2011 yang diselenggarakan di kampus UPI (4-9 April) oleh mahasiswa  dari Jurusan Pendidikan Bahasa Daerah , saya bertemu dengan salah seorang warga Baduy yang berjualan kerajinan berupa iket, tas, gelang, kalung dsb. Produk tersebut menjadi sumber penghidupan selain dari hasil cocok-tanam, kalau saja bisa terjual dengan harga wajar. Sayangnya banyak pembeli yang terlihat sangat mengerti tentang arti dari produk kebudayaan (yang sering terdengar dari percakapannya), tapi tidak mampu mengaplikasikan. Hanya mau membeli dengan harga murah. barangkali karena penjualnya tidak punya nama atau gelar budayawan atau seniman? sehingga mereka menyamaratakan produk kebudayaan yang dijualnya dengan ikan asin peda atau es krim?

 

Kata orang Baduy yang tidak terlalu pintar dengan tekhnik jual-beli ala “modern”: Tidak apa-apa dibeli dengan harga murah juga. Yang beli kan masih sodara, masih orang Sunda. Kasihan mau pake gelang tapi tidak punya uang.”

 

Tidak heran kalau dia sering sekali gulung tikar. Hasil penujalannya habis oleh biaya produksi dan transfortasi.

 

 

Melalui beberapa gelas kopi dan rokok yang dinikmati bersama, saya bisa mendapatkan informasi bagaimana keadaan masyarakat Baduy sekarang.Mereka gelisah dan kebingungan. Sebabnya memang sangat klasik, diusik oleh pihak-pihak yang serlalu bicara lantang di televisi tentang kebudayaan yang harus dilindungi dan dijunjung tinggi ...... dan sebagainya lagi. Tapi di belakang layar mereka  menjadi anjing. Ya, anjing! Kalau bocah cilik masyarakat Sunda yang belum sekolah, menyebutnya “gogog”. Anjing itu, saat ini sedang menyantap Baduy seperti tulang.

 

Orang asing dari mancanegara yang sangat diharamkan memasuki wilayah Baduy, sering tidak diketahui kedatangannya. Tahu-tahu mereka sudah keluar dari Baduy Dalam  (wilayah Baduy yang hanya dihuni oleh para tetua kampung adat dan dianggap sebagai tempat suci). Warga baduy juga tidak mengetahui mereka bisa masuknya lewat mana. Mereka bisa pergi tanpa ada sangsi dari siapapun. Lalu aparat Banten bagaimana?  Menanggapi pertanyaan itu, dia hanya tersenyum.

 

Rahasia-rahasia masarakat Baduy yang memang sangat dirahasiakan, telah dibongkar dan dibukukan oleh anjing-anjing tadi. Buku itu telah disebar luaskan. Ironisnya lagi, masarakat Baduy yang tidak bisa membaca pun diberinya beberapa. Masarakat Baduy yang ahirnya tahu tentang isi buku tersebut, bisa apa lagi selain gelisah dan memaki  angin.

 

Setelah keadaan Baduy diketahui oleh anjing-anjing yang lebih senior, di sana didirikan pula tambang minyak yang tentunya menjadi kegelisahan baru yang tidak bisa terbayangkan lagi ketika saya mendengarnya.

 

Beberapa budayawan,seniman, serta mahasiswa (semuanya asli bukan hanya status) telah melakukan beberapa bentuk protes atas kejadian-kejadian tersebut. Hasilnya, menurut orang Baduy, semakin menggelisahkan karena tidak ada pencerahan sama sekali.

 

Ketika menulis catatan ini, saya masih mengingat bisikannya kemarin sore sebelum beliau pulang kembali ke Baduy: gera hudang ulah tiris bae, lawan ku seuneu, seuneu nu tiis. Gera tulungan, Baduy geus gareheng. Lain ku panas lain ku usum halodo..... Segeralah bangun jangan bersikap dingin, lawan oleh api, api yang dingin. Cepat tolong Baduy yang telah gosong. Bukan gosong karena panas musim kemarau.... 

 

 

12 April 2011 hutan di Baduy diledakan. Mungkin untuk mengambil minyaknya. Beberapa teman yang ada disana memberitahukan ini lewat sms yang sangat mesra. Sehingga tidak bisa memberikan informasi secara rinci. 

 

Mohon maaf kalau catatan ini tidak sesuai dengan kaidah penulisan yang benar. tapi saya sangat berharap informasi ini bisa menggugah hati pembaca untuk menuliskannya kembali dalam bentuk yang lebih baik untuk diinformasikan ke masarakat luas. Karena siapa tahu, hari ini baduy, dan beberapa waktu selanjutnya kampung kita sendiri yang akan dieksploitasi. Ahirnya melumpuhkan semua daerah.

Hutanku Sayang Hutanku Melayang

tdi siang, hutan di area baduy diledakan. dibom oleh "a***g"! baduy dieksploitasi secara bebbas. tapi kita tidak tahu, kan!?
media massa hari ini nulis berita apa ya? yang aku lihat di tv cuman ada buah dada artis yang tidak terlalu menarik.(copy paste status tetangga)
Membaca status teman yang mengutuk pengrusakan hutan di Baduy hari ini membuat saya menarik nafas dalam.
Seperti kita ketahui masalah pengrusakan hutan sepertinya hal yang sudah biasa didengar dan dilihat. Beritanya santer di koran ataupun televisi, tapi anehnya yang merusak hutan tidak berkurang.
Di sekolah-sekolah, ditempat kuliah, di organisasi-organisasi pecinta alam, sepertinya selalu di gembor-gemborkan manfaat hutan dan kerugiannya jika rusak. Tapi, itu hanya wacana, hutan terus mengikis.

Sedikit bercerita,
Waktu saya masih SD, Kakek bercerita, dulu gunung Cikaledong (di garut) gundul dan sering terjadi longsor. Kakek yang tinggal di kaki gunung tersebut pasti kena getahnya. Akhirnya, Kakek menggerakkan penduduk untuk menghijaukan gunung tersebut. Tiap hari kakek ke gunung sekedar menanami pepohonan, yang saya ingat kakek menanam pohon jati,mahoni, dan bambu. Akhirnya, gunung tersebut hijau.
Sekarang, setelah saya dewasa dan Kakek sudah meninggal bertahun-tahun yang lalu ...Gunung Cikaledong ...sekarang...gundul...
Saya hanya bisa berkaca-kaca, perjuangan kakek saya dan masyarakat waktu itu dibayar dengan menebang. Ya...saya tidak bisa berbuat apa-apa selain menulis di blog, menceritakan yang terjadi.

Bagaimana dengan suku Baduy yang terkenal sangat menghormati alam, tidak menggunakan bahan-bahan kimia, anti teknologi, kemudian tiba-tiba hutan yang mereka hormati dan mereka rawat dihancurkan?

Selasa, 05 April 2011

Suria KLCC - Menara Kembar Penuh Pesona

Akhirnya...bisa juga  menatap twin tower dalam jarak dekat....
Awalnya saya kira twin tower ini seperti menara-menara biasa yang cuma bisa melihat atau menatap kota dalam ketinggian (maklum...katrok), ternyata dugaan saya salah karena didalam menara ini banyak sekali toko dari merk terkenal dan tentunya barang asli bukan aspal, salah satunya adalah Guci. Bagi mereka yang suka berbelanja, tentu ini menjadi surga berbelanja yang menyenangkan.



Saat memasuki suria KLCC, yang pertama saya kunjungi adalah tempat makannya. Maklum waktu itu sudah masuk jam makan siang (alesan). Setelah mengisi perut, saya turun lagi ke lantai dasar menuju halaman hanya untuk melihat air mancur yang membuat saya terkesan karena bentuknya yang  berubah-ubah setiap beberapa menit sekali dan membentuk sebuah simfoni, benar-benar menakjubkan. Di sekitar air mancur sangat bersih, bebas sampah, karena setiap pengunjung tidak membuang sampah sembarangan. Hal yang patut kita tiru!


Selanjutnya saya mengunjungi Aquaria, semacam sea world kalau di Indonesia. Disana terdapat eskalator (biar gak usah cape jalan) datar yang membawa kita mengelilingi lorong kaca yang tembus pandang ke laut. Melihat ikan hiu secara langsung dan berbagai biota laut lainnya membuat saya bengong untuk beberapa saat (wong desoo).

Ada lagi yang membuat kalap di KLCC, yaitu...toko buku Kinokuniya...mantaaapp...buku-bukunya bagus-bagus...dan juga mahal (dibaca dengan intonasi yang makin rendah), maklum ... buku impor. Di kinokuniya kita bisa dengan bebas mencari buku yang kita mau melalui fasilitas search engine yang disediakan di situ, lengkap dengan peta/lokasi dimana buku tersebut berada. jadi, gak perlu repot tanya sama pegawai disana.

Seharian keliling di KLCC sepertinya baru bisa merasa puas, kemarin hanya setengah hari saja, tidak sempat ke science center dan kawan-kawan. Maybe next time, hope so :-)